(Vibizmedia-Wawancara Khusus)
Ketegangan Hubungan Dagang yang Berlanjut Menekan Volume Perdagangan Dunia, Memperlambat Pertumbuhan Ekonomi Global & Menurunkan Harga Komoditas
Perlambatan pertumbuhan ekonomi direspons sejumlah bank sentral dengan menempuh kebijakan moneter yang lebih longgar, termasuk The Fed yang diprediksi masih akan menurunkan suku bunga kebijakan moneter, sehingga mengurangi ketidakpastian pasar keuangan global dan mendorong aliran masuk modal asing ke EM.
“Indonesia harus waspada, dalam hal ini tugas BI adalah menjaga stabilitas rupiah, bila dalam negeri konteksnya inflasi, kalau luar negeri nilai tukar rupiah. Menciptakan sistem pembayaran yang handal, yang efisien, yang aman.“ Destry Damayanti – Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia.
Inflasi Tetap Terkendali sehingga Menopang Stabilitas Perekonomian
Inflasi Juli 2019 yang tetap terkendali, tercatat 0,31% (month to month) atau 3,32% (year of year).
BI terus memperkuat koordinasi kebijakan dengan Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, guna memastikan inflasi tetap rendah dan stabil, termasuk dalam mengantisipasi musim kemarau yang lebih awal dan panjang.
Inflasi 2019 diprakirakan berada di bawah titik tengah kisaran sasarannya 3,5±1%.
Stabilitas sistem keuangan tetap terjaga, disertai dengan cukupnya ketersediaan likuiditas dan membaiknya risiko kredit
Bank Indonesia akan terus melakukan kebijakan makro prudensial akomodatif untuk mendorong peningkatan kredit sejalan dengan siklus kredit yang berada dibawah level optimum
Ke depan, Bank Indonesia memprakirakan pertumbuhan kredit perbankan 2019 berada pada kisaran 10-12% (yoy) dan DPK dalam kisaran 8-10% (yoy).
“Bank Indonesia senantiasa mengantisipasi, bergerak di awal, bersiap di depan sebelum kejadian yang ditakutkan terjadi.” Destry Damayanti – Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia.
Bernhard Sumbayak – Founder and Advisor Vibiz Consulting, berpendapat bahwa untuk menggairahkan ekonomi Indonesia dalam situasi tekanan global maka Bank Indonesia perlu menjaga suku bunga di tingkat yang rendah, sehubungan dengan tingkat inflasi sudah relatif wajar bagi perekenomian.
Bank Indonesia telah menurunkan BI 7-day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 5,50% pada hari Kamis (22/08). Bank Indonesia menyatakan kebijakan penurunan suku bunga acuan tersebut konsisten dengan rendahnya prakiraan inflasi yang berada di bawah titik tengah sasaran, dengan memperhatikan tetap menariknya imbal hasil investasi aset keuangan domestik sehingga mendukung stabilitas eksternal, serta sebagai langkah pre-emptive untuk mendorong momentum pertumbuhan ekonomi ke depan dari dampak perlambatan ekonomi global.
Sedangkan di sisi nilai tukar rupiah, dalam kondisi current account deficit dimana terjadi excess demand terhadap dolar Amerika, karena permintaan datang dari impor dan penawaran datang dari ekpor. Hal ini membuat tekanan terhadap rupiah, BI senantiasa mengamati kapan tekanan ini akan tinggi terjadi, apakah temporary atau structural. Biasa saja terjadi permintaan yang tinggi bukan karena impor saja namun karena adanya pembayaran hutang. Siklus ini diperhatikan oleh BI dan selalu berusaha menstabilkan nilai tukar rupiah, supaya pelaku pasar tetap dapat melakukan bisnis, demikian disampaikan oleh Destry Damayanti.
Lihat juga : Destry Damayanti – Dewan Gubernur Senior BI : Pendalaman Pasar Keuangan dan Peningkatan Investor Lokal (Part 2/5)
Kelancaran Sistem Pembayaran Tetap Terpelihara
• Dari sisi pembayaran tunai, posisi UYD tumbuh 1,4% (yoy) pada Juni 2019, tumbuh lebih rendah dari periode sebelumnya.
• Di sisi pembayaran nontunai, transaksi masyarakat menggunakan ATM-Debit, Kartu Kredit dan Uang Elektronik (UE) pada Mei 2019 tumbuh sebesar 22,6% (yoy). Transaksi UE terus tumbuh secara signifikan mencapai 262,6% (yoy).
• Ke depan, Bank Indonesia terus meningkatkan peran sistem pembayaran dalam mendukung pertumbuhan ekonomi, mendorong perluasan program elektronifikasi, serta mendorong percepatan transformasi digital untuk ekonomi Indonesia melalui implementasi Visi baru Sistem Pembayaran Indonesia 2025.
Kristanto Nugroho – Director Vibiz Media Network/Advisor Vibiz Consulting, berpendapat bahwa sistem pembayaran digital yang lebih efisien dan mudah diakses oleh pelaku usaha, khususnya Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) akan mendorong daya saing ekspor Indonesia, sehingga ekspor diharapkan akan meningkat dengan mendorong UMKM untuk mampu berkompetisi di pasar global.
Lihat juga : Destry Damayanti – Dewan Gubernur Senior BI: Era Fintech, Waspadai Shadow Banking (Part 3/5)
BLUEPRINT SPI 2025: Visi Sistem Pembayaran Indonesia 2025
Lihat juga : Destry Damayanti – Deputi Gubernur Senior BI: Mengembangkan UMKM di Era Ekonomi Digital (Part 4/5)
Pembayaran non tunai dan financial technology (fintech) memberikan manfaat bagi Indonesia, memberikan akses keuangan bagi Indonesia sebagai negara kepulauan yang terpencar dan masyarakatnya ada dimana-mana yang seharusnya memiliki akses keuangan (financial Inclusion) seperti masyarakat lainnya. Dengan jalur komunikasi yang terbuka meluas di seluruh Indonesia memungkinkan masyarakat mendapatkan akses pada digital economy. Bank Indonesia mengantisipasi hal ini agar tidak terjadi shadow banking, khususnya transaksi non bank, melalui interlink dengan bank dan juga bank base BI memonitornya sebagai bagian peredaran mata uang rupiah.
Daniel Sumbayak – CEO Vibiz Consulting, juga menekankan pentingnya monitoring dari Bank Indonesia terhadap perkembangan digital economy ini karena trend-nya mengarah ke transaksi non tunai. Menjadi resiko bagi sistem moneter di sebuah negara bila ada area pembayaran transaksi yang berlangsung di luar kontrol bank sentral.