(Vibizmedia – Internasional) Menurut Pew Research Center, militer AS kini beranggotakan sekitar 1,3 juta personil aktif dan sekitar 800 ribu pasukan cadangan dari berbagai angkatan. Dari jumlah itu, diperkirakan sekitar 45 ribu imigran, termasuk keturunan Indonesia, walaupun tidak ada informasi spesifik tentang jumlah mereka.
Dari Wartawan ke Kasir Restoran Cepat Saji ke Letkol Angkatan Darat AS
Rosita Aruan Orchid Baptiste adalah anggota Angkatan Darat AS dengan pangkat Letnan Kolonel. Kepada VOA, perempuan Batak ini berkisah tentang perjalanannya yang menantang segala rintangan karena komitmen yang teguh pada pelayanan dan hasrat yang kuat pada jurnalisme.
Lahir dan dibesarkan di Sumatra Utara, akar Rosita di tanah Batak memberinya rasa bangga yang unik terhadap warisannya. Setelah lulus dari Fakultas Hukum di Universitas Sumatera Utara, Rosita awalnya mendapatkan pekerjaan sebagai jurnalis untuk majalah Warta Ekonomi di Jakarta mulai tahun 1997.
Pada tahun 2000, kehidupan Rosita berubah drastis ketika ia pindah ke Amerika Serikat setelah menikah dengan suaminya. Ambisinya untuk melanjutkan kariernya sebagai jurnalis di AS menemui tantangan, karena para calon pemberi kerja mempertanyakan kurangnya pengalaman kerjanya di Amerika.
“Cinta yang membawa saya mau coba cari kerja di sini, mau jadi wartawan juga. Karena itu pekerjaan yang paling saya suka. Dan mereka selalu tanya, Oh, sudah pernah jadi wartawan di Amerika? Ya belum lah. Jadi setiap kali melamar pekerjaan itu, mereka selalu tanya, sudah punya pengalaman kerja di Amerika? Ya belum,” akunya.
Rosita mengatakan bahwa ia kemudian mencari pekerjaan di tempat yang lebih sederhana. Ia mulai bekerja sebagai kasir di restoran cepat saji Burger King dengan upah $6,25 per jam. Pekerjaan itu tidak hanya mencakup layanan pada pelanggan, tetapi juga membersihkan toilet, sebuah pengalaman yang awalnya membuatnya menangis. Namun, ia bertahan karena ia menyadari bahwa itu hanyalah awal dari perjalanannya. “Saya jadi kasir tapi di Burger King itu kalau lagi nggak ada pelanggan, kita tuh harus bersih-bersih meja, harus bersih-bersih WC, bersih-bersih kursi. Pertama kali saya kerja harus bersihin restroom, saya nangis. Saya bilang sama ibu saya, saya telepon mama di Jakarta. Gak kebayang saya ke Amerika harus bersihin WC. Tapi ya itulah hidup,” ungkapnya.
Rosita mengaku bahwa kegigihannya menarik perhatian suaminya, seorang mantan perwira Angkatan Darat AS. Sang suami menyarankan agar ia mempertimbangkan untuk bergabung dengan militer, di mana kurangnya pengalaman tidak akan menjadi penghalang. Ia menegaskan bahwa militer AS menilai calon rekrutan berdasarkan kemampuan mereka, bukan riwayat pekerjaan sebelumnya. Dengan tekad bulat, Rosita mendatangi kantor perekrutan. Meskipun hasil tes pertamanya tidak mencapai nilai yang disyaratkan, ia tidak berkecil hati. Ia belajar selama sebulan, mengulang tes dan lulus dengan nilai yang memuaskan.
“Saya masuk ke Recruiter Office. Mereka tertarik saya mau gabung angkatan. Mereka tuh nggak lihat tinggi badan, nggak lihat jenis kelamin. Jadi pas ujian, nilainya cuma 29, padahal untuk lulus minimal 31. Saya gagal ujian pertama, tapi apakah itu mematahkan semangat saya? Enggak! Saya tanya, ‘berapa lama lagi saya baru boleh ambil ujian berikutnya?’ Mereka bilang harus tunggu 30 hari. Jadi selama 30 hari itu saya belajar lagi, lulus ujian, terus dikirim ke Fort Jackson di South Carolina,” ujar Rosita.
Tantangan Rosita berikutnya adalah menyesuaikan diri dengan kehidupan militer. Meskipun tubuhnya mungil—dengan tinggi hanya 149 cm—ia unggul dalam latihan fisik, lari, dan rintangan, sama seperti rekan-rekan prianya. Ia tidak mendapatkan akomodasi atau pengecualian khusus, dan itu justru memperkuat tekadnya. Ia ditugaskan untuk berlatih di Fort Jackson, South Carolina, dan kemudian dikirim ke Jerman serta ditempatkan di Irak dan Kuwait. Meskipun berkewarganegaraan asing, tekad dan latar belakang akademis Rosita memungkinkannya untuk melewati pangkat pemula yang umum dan ditugaskan sebagai spesialis.
Penempatannya di Irak pada tahun 2005, sebagai Letnan Satu, merupakan pengalaman yang akan membekas dalam dirinya seumur hidup. Rosita bercerita tentang momen yang sangat mengerikan ketika ia berada di ruang kelas sewaktu sekolah perbekalan, dan ada peluru nyasar dari tembakan musuh yang menembus langit-langit, dan mendarat hanya beberapa sentimeter darinya. “Dan ini hanya Tuhan yang tahu ya, ini pengalaman mengerikan yang saya alami. Pas lagi duduk di kelas, saya plug in laptop (mencolokkan kabel laptop ke stopkontak listrik) …jadi saya nunduk sedikit gitu. Cuma satu detik itu saya plug in, peluru berdesing. Jadi dari langit-langit itu bolong tembus mental di meja saya. Kalau tadinya saya nggak nunduk, ini yang kena,” katanya seraya menunjuk pada kepalanya.
Rosita mengaku harus menyeimbangkan tuntutan kariernya dengan keinginan untuk memulai sebuah keluarga. Pada usianya yang ke-41, Rosita mendapat bantuan dari Angkatan Darat untuk pengobatan fertilitas, dan ia akhirnya menjadi seorang ibu bagi seorang putra pada tahun 2009. Kelahiran anaknya, yang ia beri nama Caleb, merupakan berkat terbesar dalam hidupnya, dan Rosita memutuskan untuk beralih dari tugas aktif ke cadangan agar dapat mengasuh putranya.
Rosita bangga dengan pengabdiannya tetapi juga sangat menyadari pengorbanan yang diperlukan untuk itu. Meninggalkan tugas aktif karena alasan keluarga bukanlah keputusan yang mudah, tetapi itu adalah keputusan yang harus diambilnya. Angkatan Darat, katanya, akan terus berfungsi tanpa dirinya, tetapi putranya membutuhkannya.
Ia sekarang menikmati manfaat dari pengabdiannya, termasuk perawatan kesehatan dan dukungan pendidikan melalui program militer AS seperti GI Bill dan Hazlewood Act, yaitu tunjangan dari negara bagian Texas untuk veteran bersama pasangan dan anak-anak tanggungan untuk biaya pendidikan hingga 150 jam kredit di perguruan tinggi.
“The beauty of Texas (indahnya Texas), cuma Texas yang punya namanya Hazlewood Act. Kalau pernah berangkat perang dari Texas, maka berhak untuk mendapatkan namanya Hazlewood Act. Itu biaya pendidikan dari negara bagian Texas. Jadi bisa saya sendiri pakai atau anak saya atau suami saya. Kuliah gak perlu bayar buat 5 tahun,” paparnya.
Kini, dengan putranya di sekolah menengah atas, Rosita terus bertugas sebagai tentara cadangan, masih membawa kebanggaan akan warisan Indonesia dan Amerika. Ia tetap sangat bersyukur atas kesempatan yang dimilikinya dan menantikan babak selanjutnya dalam hidupnya, yang mungkin termasuk bergabung dengan misi seperti operasi Garuda Shield pada kemudian hari.
Rosita menegaskan kecintaannya yang mendalam pada negara asalnya, Indonesia, dan negara tempat ia mengabdi, Amerika Serikat. Ia menyatakan bahwa menjadi bagian dari militer AS tidak mengurangi cintanya pada Indonesia. Sebaliknya, ia menggunakan jabatannya untuk mempromosikan budaya Indonesia di dalam militer, termasuk mengenakan batik tradisional pada kesempatan-kesempatan yang sesuai, dan berbagi masakan Indonesia dengan sesama prajurit lainnya.
Sumber: voaindonesia.com