Industri Tekstil Indonesia di Persimpangan Jalan: Antara Impor dan Daya Saing Lokal

0
71
Tekstil Indonesia
Tenaga kerja tekstil di Indonesia. DOK: SRITEX

(Vibizmedia-Kolom) Industri tekstil di Indonesia sedang dalam situasi sulit, terjadi penurunan produksi, penyusutan penjualan menyusul penutupan puluhan pabrik serta pemutusan hubungan kerja (PHK) 13.800 pekerja (di Jawa Barat dan Jawa Tengah) karena imbas pasar global lesu dan membanjirnya impor pakaian jadi legal dan illegal ke pasar domestik, bagaimana solusi untuk persoalan ini?

Industri tekstil di Indonesia merupakan salah satu sektor industri yang berkontribusi penting terhadap perekonomian nasional. Pada tahun 2022, industri tekstil menyerap kurang lebih 3,6 juta orang tenaga kerja dan menyumbang 6,38 persen PDB dari sektor nonmigas. Terdapat 2.027 perusahaan tekstil di Indonesia yang terdiri dari 1.320 perusahaan tekstil skala menengah dan 707 skala besar.

Sementara, pada triwulan pertama 2024, industri tekstil berkontribusi 19,28% terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun, saat ini menghadapi berbagai tantangan. Pada bulan Agustus lalu, industri tekstil mengalami kontraksi untuk ketiga kalinya berturut-turut.

Volume Ekspor Tekstil
Sumber: BPS, 2022

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang 2022 Industri tekstil Indonesia hanya melakukan ekspor sebanyak 1,5 juta ton, turun 17% dibanding tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Angka tersebut lebih rendah ketimbang volume ekspor tahun 2020 ketika awal pandemi melanda, sekaligus menjadi capaian terburuk dalam delapan tahun terakhir. Meski pada 2022 permintaan ekspor melambat, harga komoditas industri tekstil secara umum meningkat di pasar internasional.

Menurut Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmaja beberapa waktu lalu kepada media mengatakan penurunan daya beli global dan konflik geopolitik yang diperparah dengan membanjirnya produk China di dalam negeri serta dari Vietnam dan Bangladesh.

Sedangkan, pengamat industri pertekstilan Rizal Tanzil Rahman mengatakan pemerintah Indonesia justru membuka keran impor tanpa mempertimbangan kondisi industri tekstil nasional yang sudah darurat.

Salah satu upaya pemerintah adalah menyelamatkan perusahaan tekstil ternama di Indonesia, PT Sri Rejeki Isman atau Sritex, Menteri Ketenagakerjaan Yassierli mengungkapkan bahwa ada beberapa langkah yang akan dilakukan oleh Pemerintah dengan melibatkan Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN dan Kementerian Perindustrian dalam melaksanakan upaya penyelamatan bukan membantu secara langsung, tapi lewat mediasi dengan manajemen.

Selain itu, pemerintah juga memberikan bantuan berupa kemudahan dalam hal ekspor dan impor untuk PT Sritex, sehingga mempermudah Sritex untuk melanjutkan usahanya walaupun ditengah-tengah status pailit. Pemerintah bisa membantu regulasi terkait eskpor dan impor, ungkap Yassierli beberapa waktu lalu kepada media.

Kementerian Perdagangan menyebut akan menetapkan tarif bea masuk sebesar 200% terhadap produk impor dari China, yang sebelumnya disampaikan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan ketika menjabat, dan ini sebagai jalan keluar untuk perlindungan atas barang-barang yang deras masuk ke Indonesia.

Teknologi dan Otomatisasi?
Di tengah gempuran persaingan global, banyak perusahaan tekstil yang mulai beralih ke teknologi dan otomatisasi sebagai cara untuk meningkatkan efisiensi produksi. Namun, penggunaan teknologi canggih dalam industri ini ternyata menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, otomatisasi membantu perusahaan meningkatkan produktivitas dan mengurangi ketergantungan pada tenaga kerja manual.

Di sisi lain, adopsi teknologi juga mengurangi kebutuhan tenaga kerja, yang mengakibatkan gelombang PHK di berbagai pabrik tekstil. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang masa depan tenaga kerja di sektor tekstil. Apakah industri ini masih dapat menjadi penyedia lapangan kerja yang besar di masa depan?

Bagi pekerja yang kehilangan pekerjaan akibat otomatisasi, realitas ini menjadi ancaman serius bagi mata pencaharian mereka. Selain persaingan global dan otomatisasi, fluktuasi permintaan produk tekstil di pasar internasional juga menjadi faktor penting dalam krisis PHK massal di Indonesia.

Banyak pabrik tekstil di Indonesia yang mengandalkan pesanan ekspor terpaksa mengurangi produksi atau bahkan menutup operasinya sementara karena kurangnya pesanan. Pasar ekspor yang sebelumnya menjadi andalan sektor tekstil Indonesia kini juga semakin terbatas akibat perubahan preferensi konsumen global dan ketatnya persaingan.

Permintaan akan produk-produk ramah lingkungan dan berkelanjutan semakin meningkat, sementara banyak produsen tekstil di Indonesia belum sepenuhnya mampu beradaptasi dengan tren ini. Akibatnya, produsen tekstil lokal kehilangan pangsa pasar internasional, dan banyak perusahaan kecil dan menengah terpaksa gulung tikar. Di tengah krisis ini, kebijakan pemerintah seharusnya menjadi penopang bagi industri tekstil untuk bangkit kembali.

Namun, sayangnya, kebijakan yang ada sering kali dianggap tidak memadai untuk menjawab tantangan yang dihadapi industri ini. Salah satu contohnya adalah kebijakan impor bahan baku yang masih memberatkan produsen lokal. Banyak produsen tekstil yang bergantung pada impor bahan baku, seperti kapas dan pewarna, harus menghadapi biaya impor yang tinggi karena tingginya tarif bea masuk dan birokrasi yang rumit. Di sisi lain, dukungan pemerintah terhadap program pengembangan teknologi dan inovasi di sektor tekstil masih terbatas.

Peluang
Padahal, dengan dukungan tepat, industri tekstil Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar untuk bertransformasi menjadi industri yang lebih modern, ramah lingkungan, dan kompetitif di pasar global. Tanpa adanya kebijakan yang mendukung inovasi, banyak perusahaan tekstil terjebak dalam model bisnis usang, yang hanya mengandalkan tenaga kerja murah dan produksi massal.

Pemerintah harus lebih proaktif dalam mendukung inovasi dan adopsi teknologi di sektor tekstil, dengan memberikan insentif bagi perusahaan yang berinvestasi dalam produksi ramah lingkungan dan berkelanjutan. Selain itu, kebijakan yang mendukung pengembangan industri hilir, seperti industri fesyen dan produk turunan tekstil, juga dapat membuka peluang baru bagi sektor ini.

Pelatihan dan peningkatan keterampilan tenaga kerja harus menjadi prioritas. Dalam menghadapi era otomatisasi, tenaga kerja tekstil Indonesia harus dilatih agar memiliki keterampilan yang relevan dengan perkembangan teknologi. Dengan demikian, mereka tidak akan terpinggirkan oleh otomatisasi, melainkan dapat menjadi bagian dari transformasi industri. Pemerintah perlu mengevaluasi kembali kebijakan perdagangan dan impor bahan baku untuk memastikan bahwa produsen tekstil lokal dapat bersaing secara adil di pasar domestik dan internasional. Selain itu, perjanjian perdagangan bebas harus dinegosiasikan ulang dengan mempertimbangkan kepentingan industri tekstil nasional.

PHK massal di sektor tekstil Indonesia bukan hanya sekadar masalah ketenagakerjaan, tetapi juga mencerminkan tantangan lebih besar dalam menghadapi persaingan global, adopsi teknologi, dan perubahan tren pasar. Dengan pendekatan komprehensif dan kebijakan tepat, industri tekstil Indonesia masih memiliki peluang untuk bangkit dan menjadi lebih kompetitif di masa depan. Namun, tanpa langkah nyata, dilema ini akan terus menekan industri tekstil, dan ribuan pekerja akan terus menjadi korban dari perubahan yang tak terelakkan.

Tanpa langkah konkret untuk menghadapi tantangan yang ada, risiko tertinggal dari pesaing global akan semakin nyata. Inilah saatnya bagi Indonesia untuk mengambil keputusan strategis: apakah kita hanya akan menjadi pasar bagi produk impor, atau menjadi pemain utama dalam industri tekstil?