Tantangan Ketimpangan Akses Pangan di Tengah Potensi Agraris

0
367
Sayuran
Ilustrasi sayuran. FOTO: VIBIZMEDIA.COM/ZEFANYA

(Vibizmedia-Kolom) Jumlah penduduk Indonesia 2024 sebanyak 281,60 juta jiwa berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Juni 2024 lalu dan menjadi nomor empat terbanyak di dunia. Dengan besarnya jumlah penduduk yang ada, tentu menjadi tantangan tersendiri untuk mempertahankan kebutuhan pangan serta aksesnya pada masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu, ketimpangan akses pangan sangatlah besar.

Jumlah penduduk Indonesia 2024
Sumber: BPS, 28 Juni 2024

Setiap tahunnya populasi penduduk Indonesia terus mengalami peningkatan. Seiring dengan itu juga kebutuhan pangan bertambah.

Meski dijuluki sebagai negara agraris dengan berbagai potensi besar dalam memproduksi pangan, akses pangan di Indonesia dapat dikategorikan belum cukup merata pada seluruh wilayah disebabkan oleh berbagai kendala yang ada.

Prognosa Kebutuhan Pangan Nasional
Sumber: BPS, Kementan, 29 Maret 2023

Gambar ini menyoroti impor untuk memenuhi kebutuhan beberapa komoditas seperti kedelai, gula, dan daging sapi/kerbau, meskipun sebagian besar pangan lain diperkirakan mencukupi kebutuhan dalam negeri dengan stok yang memadai di akhir tahun 2023.

Kendala yang Terjadi

Infrastruktur yang Belum Mendukung

Meskipun banyak daerah di Indonesia kaya akan lahan subur, kurangnya infrastruktur seperti jalan, pelabuhan, dan fasilitas penyimpanan menghambat distribusi pangan, terutama di daerah terpencil dan kepulauan. Akibatnya, harga pangan di wilayah-wilayah tersebut cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan daerah perkotaan yang memiliki akses lebih baik.

Distribusi Pangan yang Tidak Merata

Sistem distribusi pangan masih terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu, seperti Pulau Jawa, yang menyebabkan disparitas dalam ketersediaan pangan di wilayah lain. Daerah Indonesia bagian timur, misalnya, sering mengalami kelangkaan pangan akibat kesulitan distribusi.

Ketergantungan pada Impor Pangan

Indonesia masih bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan beberapa komoditas pangan pokok seperti beras, kedelai, dan daging. Ketergantungan ini membuat harga pangan domestik rentan terhadap fluktuasi harga pasar global, sehingga mempengaruhi daya beli masyarakat di berbagai wilayah.

Keterbatasan Akses ke Teknologi dan Pengetahuan Pertanian

Banyak petani di daerah terpencil yang belum mendapatkan akses terhadap teknologi pertanian modern, sehingga produktivitas pertanian mereka cenderung lebih rendah. Hal ini turut mempengaruhi ketidakmerataan produksi pangan di seluruh wilayah Indonesia.

Faktor Geografis dan Cuaca Ekstrem

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan kondisi geografis yang bervariasi. Beberapa daerah sering menghadapi cuaca ekstrem seperti banjir atau kekeringan yang dapat mengganggu produksi dan distribusi pangan. Ketidakpastian iklim ini menjadi salah satu kendala dalam menjamin ketersediaan pangan secara merata.

Pemerintah telah meluncurkan beberapa program untuk mengatasi ketimpangan akses pangan, seperti pengembangan food estate (lumbung pangan) di wilayah-wilayah baru dan peningkatan infrastruktur pertanian. Namun pencapaiannya masih dalam tahap awal dan hasilnya belum sepenuhnya optimal. Food estate merupakan program pemerintah yang bertujuan untuk memperkuat ketahanan pangan nasional dengan menciptakan kawasan pertanian skala besar di berbagai daerah yang memiliki potensi lahan subur, seperti di Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Papua.

Food estate di Kalimantan Tengah, yang mencakup daerah Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Pulang Pisau, merupakan salah satu proyek utama. Lahan yang digunakan sebagian besar adalah bekas proyek lahan gambut yang sebelumnya gagal di era Orde Baru. Pemerintah menargetkan lahan ini untuk dijadikan kawasan produksi padi, singkong, dan komoditas pangan lainnya. Proyek ini belum menghasilkan produksi pangan dalam skala yang memadai. Kualitas lahan yang rendah, masih perlu diatasi sebelum kawasan ini dapat memberikan hasil yang signifikan.

Sumatera Utara, di daerah Karo dan Humbang Hasundutan, kawasan food estate fokus pada pengembangan komoditas hortikultura, seperti bawang merah, bawang putih, dan kentang. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya dengan memberikan dukungan bibit unggul, alat pertanian, dan infrastruktur dasar. Di beberapa daerah, food estate ini mulai menunjukkan hasil yang lebih positif, terutama di sektor hortikultura. Namun, produksi masih belum mencapai skala besar seperti yang diharapkan pemerintah.

Food estate di NTT berfokus pada pengembangan tanaman pangan seperti jagung dan padi. Wilayah ini dikenal sebagai daerah yang sering mengalami kekurangan pangan karena cuaca kering dan infrastruktur yang minim. Pemerintah berupaya mengembangkan teknologi pertanian yang sesuai dengan kondisi setempat, termasuk irigasi dan teknik pertanian tahan kering. Proyek di NTT juga masih dalam tahap pengembangan, dengan sejumlah hasil mulai terlihat. Namun, tantangan lingkungan dan iklim masih menjadi hambatan utama.

Di Papua, food estate ditujukan untuk pengembangan sagu, padi, dan jagung. Potensi lahan di Papua cukup besar, namun tantangan geografis dan infrastruktur menjadi hambatan dalam proses implementasi program ini. Program food estate di Papua masih dalam tahap perencanaan dan persiapan, dengan hasil yang belum signifikan.

Indeks Ketahanan Pangan Indonesia tahun 2022
Sumber: Global Food Security Index (GFSI), 2022

Gambar ini menunjukkan pada tahun 2012, indeks ketahanan pangan Indonesia dimulai pada 52,5. Indeks meningkat secara bertahap hingga mencapai 62,4 pada tahun 2018, yang merupakan nilai tertinggi selama periode ini. Setelah tahun 2018, indeks mengalami sedikit penurunan, mencapai 59,2 pada tahun 2021. Pada tahun 2022, indeks kembali meningkat menjadi 60,2.

Secara keseluruhan, indeks ini menunjukkan adanya peningkatan ketahanan pangan di Indonesia selama dekade terakhir, dengan beberapa fluktuasi dalam beberapa tahun terakhir serta merefleksikan kemampuan Indonesia untuk menyediakan pangan yang memadai, stabil, dan terjangkau bagi masyarakat.

Namun patut digarisbawahi, Indonesia tidak hanya mengimpor beras untuk untuk konsumsi sehari-hari, tetapi juga beras khusus yang didistribusikan ke lokasi-lokasi tertentu seperti hotel, restoran, hingga kafe.

Beberapa waktu yang lalu, Presiden Jokowi sempat menyatakan Indonesia tidak lagi mengimpor beras selama tiga tahun. Beras yang dimaksud tersebut yakni beras konsumsi sehari-hari, tetapi untuk beras khusus yang tidak diproduksi di dalam negeri masih tetap impor, hal ini membuat data di BPS tercatat terus mengimpor beras.

Peluang

Teknologi pertanian dapat diterapkan secara lebih luas, terutama dalam sektor padi, jagung, dan komoditas lain yang menjadi andalan Indonesia. Pemanfaatan pertanian presisi dan irigasi pintar dapat meningkatkan hasil produksi tanpa memperluas lahan.

Meningkatkan produktivitas sektor kedelai yang masih sangat bergantung pada impor, dengan mendorong penelitian dan pengembangan benih unggul lokal serta meningkatkan dukungan kepada petani kedelai. Dengan memanfaatkan lahan tidur dan meningkatkan pengelolaan lahan marginal untuk memperluas area tanam. Pembangunan infrastruktur, terutama di daerah terpencil, merupakan peluang besar untuk meningkatkan akses pangan yang merata di seluruh wilayah Indonesia yang disertai jalur transportasi dan logistik yang lebih efisien akan memudahkan distribusi pangan ke wilayah-wilayah dengan akses terbatas.

Investasi dalam cold chain logistics untuk menjaga kualitas pangan, terutama untuk produk yang mudah rusak seperti daging dan sayuran. Ada peluang besar untuk mendorong diversifikasi pangan, sehingga ketergantungan pada beras sebagai makanan pokok dapat dikurangi. Mempromosikan konsumsi sumber pangan lokal seperti sagu, jagung, dan umbi-umbian sebagai alternatif dapat mendukung ketahanan pangan nasional.

Pengembangan komoditas lain seperti hortikultura dan peternakan yang bisa meningkatkan keberagaman pasokan pangan dalam negeri. Investasi di teknologi pangan dan start-up agrikultur yang fokus pada peningkatan rantai pasokan pangan dan distribusi akan sangat membantu. Inovasi berbasis riset di bidang pertanian dan pangan juga dapat menghasilkan solusi baru untuk meningkatkan ketahanan pangan, misalnya pengembangan varietas tahan cuaca ekstrim untuk menghadapi perubahan iklim.

Peningkatan dalam pengelolaan irigasi dan konservasi sumber daya air sangat penting untuk mendukung produksi pangan, terutama di daerah yang sering terkena dampak kekeringan. Pembangunan waduk dan bendungan yang lebih terintegrasi juga dapat menjadi solusi jangka panjang untuk menjaga suplai air untuk pertanian.

Dengan memanfaatkan peluang-peluang ini, Indonesia dapat meningkatkan ketahanan pangannya secara signifikan dan mengurangi ketergantungan pada impor, serta menciptakan sistem pangan yang lebih stabil dan berkelanjutan.