Indonesia Negara Peringkat Ke Tujuh yang Memiliki Investor Aset Kripto Terbesar di Dunia

0
187

(Vibizmedia – Jakarta) Sejak awal 2024 hingga akhir Maret 2024, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat total akumulasi nilai transaksi aset kripto sebesar Rp158,84 triliun. Bahkan saat ini Indonesia tercatat berada di peringkat ketujuh sebagai negara dengan jumlah investor aset kripto terbesar di dunia.

Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital dan Aset Kripto Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Hasan Fawzi dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (13/5/2024) menyampaikan, nilai transaksi aset kripto pada Maret 2024 saja tercatat sebesar Rp103,58 triliun atau naik signifikan dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai Rp33,69 triliun.

Pada periode yang sama, lanjut Hasan, OJK juga mencatat total investor aset kripto mencapai 19,75 juta investor atau mengalami peningkatan 570 ribu investor dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 19,18 juta investor.

Hasan menambahkan, dapat disampaikan bahwa jumlah investor dan juga transaksi terkait aset kripto di domestik terus menunjukkan tren peningkatan.

Terkait pengawasan aset kripto, Hasan menyampaikan pihaknya akan membentuk tim transisi dalam rangka peralihan kewenangan pengaturan dan pengawasan aset keuangan digital termasuk aset kripto dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) kepada OJK.

Dalam melaksanakan tugas fungsi peralihan aset keuangan digital, termasuk aset kripto serta derivatif keuangan, OJK akan bertindak sebagai koordinator dan akan melakukan koordinasi dengan Bank Indonesia (BI) dan Bappebti dalam membentuk dan melaksanakan tugas serta fungsi tim transisi.

Hasan mengatakan, OJK juga tengah menyusun cyber security guideline yang akan diterapkan di sektor IAKD, termasuk untuk aset kripto. Guidline ini, kata Hasan, akan menjadi pedoman bagi seluruh penyelenggara ITSK dalam menyusun dan mengimplementasikan kerangka ketahanan dan keamanan siber di sektor IAKD.

Selanjutnya, OJK juga terus mendorong peningkatan literasi dan inklusi keuangan digital, penguatan ekosistem keuangan digital yang berkelanjutan, serta praktik bisnis yang etis dan bertanggung jawab, khususnya terkait dengan penerapan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) di sektor ITSK.
Terkait dengan penerapan AI, OJK juga saat ini sedang merumuskan kebijakan yang terkait dengan penerapan teknologi tersebut di sektor keuangan, termasuk untuk sektor ITSK, dengan berkolaborasi lebih lanjut dengan kementerian maupun lembaga dan asosiasi terkait lainnya.

Susun Regulasi Fintech

Hasan mengungkapkan, OJK tengah menyusun regulasi untuk teknologi finansial (fintech) dengan model bisnis di bidang aggregator untuk memastikan tata kelola bagi penyelenggaraan aggregator.

Hasan menambahkan, saat ini OJK sedang merumuskan POJK mengenai model bisnis aggregator yang akan berfokus pada peningkatan peran aggregator dalam membantu lembaga jasa keuangan untuk memasarkan produk dan layanan jasa keuangannya.

Lebih lanjut, Hasan mengatakan bahwa penyusunan regulasi tersebut tentunya tetap memperhatikan pemberian rekomendasi secara bertanggung jawab serta memperhatikan aspek-aspek risiko dan mitigasi risiko di lembaga jasa keuangan.

Ia menuturkan, OJK pada Agustus 2023 melakukan program percepatan evaluasi dan penetapan hasil Regulatory Sandbox terhadap 108 penyelenggara ITSK yang terbagi ke dalam 15 klaster model bisnis. Selanjutnya secara bertahap, OJK melakukan program percepatan untuk evaluasi dan pemberian hasil pelaksanaan Regulatory Sandbox atas seluruh 108 penyelenggara ITSK.

Pada akhir April 2024, OJK telah memberikan hasil Regulatory Sandbox kepada seluruh penyelenggara ITSK tersebut. Secara ringkas, hasil Regulatory Sandbox diputuskan setidaknya terdapat dua model bisnis penyelenggara ITSK yang nantinya akan diatur lebih lanjut dan diawasi oleh OJK. Kedua model bisnis yaitu aggregator dan innovative credit scoring (ICS).

Hasan menyatakan, dalam meningkatkan peran ICS atau Lembaga Pemeringkat Kredit Alternatif (LPKA), OJK saat ini juga sedang merumuskan ketentuan mengenai LPKA tersebut dalam mengatur dan mengawasi aktivitas yang terkait dengan pemeringkatan kredit alternatif.

Menurutnya, pengaturan tersebut akan berfokus pada peningkatan peran LPKA serta memastikan tata kelola LPKA untuk terus meningkatkan akses masyarakat dan terutama dari sektor UMKM kepada layanan dari sektor keuangan formal, khususnya melalui pemanfaatan data non-keuangan atau data alternatif dalam upaya dapat menilai kelayakan dari calon nasabah, terutama dari segmen underbank dan unbank.

Selanjutnya, OJK juga terus membuka proses pendaftaran Regulatory Sandbox bagi penyelenggara ITSK yang bermaksud untuk melanjutkan dan melakukan kegiatan operasional bisnisnya khususnya untuk kedua model bisnis, baik inovative credit scoring maupun aggregator, sebagaimana implementasi dari POJK Nomor 3 Tahun 2024.

Selain itu, Regulatory Sandbox juga telah terbuka bagi para inovator di bidang yang terkait dengan aset kripto dan blockchain. Hal ini dimaksudkan agar inovasi yang terkait dengan aset kripto dan blockchain dapat semakin dimanfaatkan secara luas di industri dan sektor keuangan nasional.

“OJK saat ini terus membuka kesempatan bagi seluruh inovator di ITSK untuk dapat mendaftarkan menjadi peserta di Regulatory Sandbox OJK dalam rangka menguji inovasinya, mengonfirmasi model bisnis yang ditawarkan, ataupun produk dan layanan maupun aktivitas baru yang kita harapkan dapat terus memberikan manfaat bagi industri dan sektor keuangan kita ke depannya,” pungkasnya.