(Vibizmedia – Kolom) Semakin banyak negara berhadapan dengan kondisi krisis ekonomi karena tekanan inflasi. Turki adalah salah satu negara yang di ambang bahaya, karena cukup menderita akibat inflasi yang melejit. Masyarakatnya setiap hari menghadapi harga-harga yang terus melonjak.
Harga makanan, obat-obatan, susu, kertas toilet dan bahan bakar terus naik, sementara angka pengangguran meningkat namun ongkos hidup terus melonjak. Hal ini membawa penderitaan bagi rakyat.
Bahkan sebelum pandemi, Turki sudah berjuang menghadapi himpitan hutang, jatuhnya nilai tukar Lira Turki, dan tingginya inflasi.
Bertentangan Teori
Apa yang ditempuh oleh Erdogan, yang telah memerintah selama 18 tahun adalah bertentangan dengan prinsip akademis ilmu ekonomi. Secara teori untuk mengendalikan inflasi, maka suku bunga harus dinaikkan maka terjadi pengetatan likuiditas sehingga inflasi menurun.
Namun kebijakan Erdogan tetap memotong suku bunga, sekalipun inflasi sudah naik hingga 21%. Bahkan pejabat bank sentral atau kementerian keuangan yang bertentangan dengan kemauannya akan dicopot dari jabatannya.
Erdogan memiliki prinsip untuk terus menggenjot pertumbuhan ekonomi. Sejak memerintah di 2003 maka pembangunan infrastruktur dilakukan secara besar-besaran, mengundang para investor dan mendorong bisnis dengan dukungan hutang.
Erdogan juga selalu mendorong perbankan untuk memberikan kredit murah pada rumah tangga dan dunia usaha.
Karena Presiden selalu menentang peningkatan tarif bunga pinjaman, sekalipun untuk alasan instrumen moneter.
Inflasi
Indeks harga konsumen mencapai 78,6% pada Juni 2021, didorong oleh kenaikan harga makanan, minuman dan transportasi.
Tingkat inflasi terus mencuat, mulai 21,3% pada November 2021, lalu 36% pada Desember 2021, kemudian 61% pada Maret 2022 dan akhirnya 73,5% pada Mei 2022, inflasi tertinggi sejak 24 tahun.
Suku Bunga
Bank Sentral bukannya meningkatkan suku bunga untuk mengendalikan inflasi, justru 4 bulan terakhir tahun lalu menurunkan suku bunga hingga 500 basis poin, dan tahun ini dijaga rate-nya tetap 14%.
Nilai Tukar Lira
Akibat inflasi, maka nilai tukar Lira terhadap dolar AS terus merosot, dari 7,43 pada akhir tahun 2021, terus meningkat hingga 16.76.
Untuk tahun ini saja Lira sudah jatuh 21%, sedang sepanjang 2021 sudah jatuh 44%.
Kebijakan Pengendalian Nilai Tukar Lira
Pada awal tahun, pemerintah membuat kebijakan bahwa perusahaan harus menukar ke Lira dari 25% pendapatan dalam denominasi dolar AS, Euro dan Poundsterling ke Lira, lalu pada April 2022 naik menjadi 40%.
Akibatnya perusahaan tidak berani melakukan pinjaman dalam denominasi asing untuk menghindari resiko kerugian nilai tukar.
Defisit Perdagangan dan Rendahnya Cadangan Devisa
Defisit Mei 2022 sebear $29,59 miliar, naik 155,2% dibanding Mei 2021.
Foreign direct investment (FDI) anjlok juga $17 milyar pada 2015, turun ke $12,3 milyar pada 2016, tahun lalu $14,1 miliar dimana $5,7 milyar untuk investasi properti.
Historis Permasalahan Ekonomi Turki
2000/2001 Krisis Perbankan dan Nilai Tukar
Krisis perbankan yang dipicu oleh bangkrutnya Demir Bank memicu larinya modal dari Turki. Akibatnya Lira jatuh hingga 25% hanya kurang dari 3 minggu.
2013/2014 Taper Tantrum dan Skandal Korupsi
Bersamaan dengan kebijakan The Fed melakukan Quantitative Easing yang dikenal dengan Taper Tantrum. Kondisi pemerintahan Turki pada saat itu terkena skandal korupsi yang melibatkan para pejabat sehingga terjadi reshuffle kabinet.
Bank sentral terpaksa menaikkan suku bunga dari 7.75% ke 12%, bertentangan dengan kebijakan Erdogan.
2018 Goncangan Politik dan Sanksi
Juli 2016 terjadi upaya kudeta yang kemudian membawa pada referendum 2017, mengubah sistem pemerintahan dari parlementer ke presidensial.
Washington memberi sanksi pada Turkey karena menahan Andrew Brunson warga AS dengan tuduhan terorisme.
Lira kembali jatuh 25% hanya pada bulan Agustus.
2021/2022 Inflasi Melejit
Bank Sentral memangkas suku bunga hingga 500 basis poin antara bulan September hingga Desember 2021, pada saat inflasi 36%.
Sementara permintaan barang meningkat drastis karena meredanya Covid-19, dan rantai pasokan masih belum pulih.
Lira melorot hingga 30% hanya pada November.
Setelah Lira sedikit agak tenang di awal 2022, kemudian terjadilah pecah perang Ukraina – Rusia. Inflasi melejit hingga di atas 70%, suasana geopolitik semakin dipertajam dengan posisi Turki yang menentang masuknya Sweden dan Finland menjadi anggota NATO.
Demikianlah fakta-fakta dan historis rentetan permasalah yang melanda ekonomi Turki, sehingga negara ini terus dihantam inflasi dan ekonomi semakin terpuruk.
Supaya Jangan Menjadi Fatal
Dalam kondisi inflasi global dan juga domestik Turki yang sudah memasuki ranah kehidupan pokok masyarakat, maka perlu dilakukan tindakan-tindakan untuk menghindari kondisi yang fatal.
Selama President Recep Tayyip Erdogan memegang unorthodox theory ekonominya bahwa suku bunga yang rendah menjadi “ekonomi model baru” maka inflasi akan semakin buruk.
Menurutnya dengan memangkas suku bunga maka inflasi akan turun, investasi akan meningkat, lapangan kerja akan terbuka dan ekspor akan meningkat sehingga Turki tidak lagi tergantung pada negara-negara lain.
Kita lihat bagaimana negara-negara industri berusaha mengendalikan inflasinya. Suku bunga the Fed, dan bank sentral global lainnya (ECB, BOE, RBA, RBNZ, dll) sudah dinaikkan, dan cenderung masih terus dinaikkan, kecuali BOJ (Japan) dan Bank Indonesia.
Sekalipun tidak seperti yang ditargetkan, namun tingkat inflasi berhasil ditahan. Bank sentral Turki (TCMB) memang perlu independensi untuk juga mulai mengikuti tren menaikkan suku bunga. Dengan upaya Ini akan dapat menahan kejatuhan mata uang Lira dan pada gilirannya mengerem tingkat inflasi Turki.
Di sisi lain, penerimaan devisa masih punya peluang untuk digenjot. Turki punya potensi besar dari sisi pariwisata, sektor ini bisa dipompa setelah meredanya Covid-19 ini. Demikian juga ekspor Turki harus ditingkatkan, terutama ekspor
kendaraan, machineries, besi baja, sampai kepada emas. Ini untuk mencegah semakin merosotnya cadangan devisa negara, supaya juga kasus Sri Lanka tidak terulang pada Turki.
Dari sisi geopolitik dan perjalanan historis pemerintahan Erdogan, seringkali kondisi ekonomi Turki terimbas dengan sikap politik Erdogan baik di dalam negeri, maupun hubungan luar negerinya. Kita tidak tahu bagaimana masa depan politik Turki. Disatu pihak dekat dengan Iran dan Rusia namun di satu pihak merangkul Israel, sebagaimana pada kunjungan Presiden Israel Isaac Herzog ke Turki pada 9 Maret 2022 lalu, Turki hendak memperluas kerjasama ekonomi dengan Israel.