PPS, Si Seksi dari UU HPP
(Vibizmedia – Manajemen) – Sejak 1 Januari 2022, Direktorat Jenderal Pajak sudah membuka layanan elektronik PPS pada laman pajak.go.id. Sudah lama sejak Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) diundangkan, bab seksi yaitu Bab V Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak (PPS) menjadi pusat perhatian.
PPS hadir bagai penghapus dosa. Kita boleh menikmatinya hanya dengan tebusan PPh final, lalu dosa-dosa kita terhapus. Caranya juga mudah, cukup kalikan tarif dengan harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan, bayar PPh finalnya lalu lapor Surat Pemberitahuan Pengungkapan Harta (SPPH). Kalau mau bayarnya lebih murah, usaha sedikit dengan mengurus repatriasi harta luar negeri dan menginvestasikannya. Mudah bukan? Di mana lagi kita bisa dapat penghapus dosa yang tidak sesulit yang dibayangkan?
Namun, siapa yang tahu pikiran manusia? Bagaimana kalau ada manusia yang saking malasnya, tidak mau mengurus berkas-berkas penghapus dosa ini. Padahal PPS ini bagai flash sale, waktunya cukup singkat. Kita tahu rasa malas juga termasuk sifat “merusak” dari manusia.
Dua Alasan Harus Ikut PPS
Mungkin banyak di antara kita yang berpikiran bahwa kalau terlalu aktif nanti kita rugi sendiri. Kalau terlalu mengikuti pemerintah, tetapi yang melanggar tidak kena hukuman pasti rasanya kita satu-satunya orang yang dirugikan. Kalau terlalu penurut disuruh-suruh nanti kita terus yang dimanfaatkan. Bagaimana kalau pikiran ini juga diterapkan oleh calon peserta PPS? Diam-diam saja padahal punya harta yang belum dilaporkan, nanti kalau dilaporkan malah dikulik-kulik.
Bagi pemilik pikiran seperti di atas, bagaimana kalau DJP menawarkan keuntungan yang bisa membuatmu berubah pikiran. Berikut adalah manfaat yang bisa didapatkan jika mengikuti PPS.
1. Terhindar dari sanksi
Kalau dalam peraturan yang ditakutkan pasti hukumannya. Dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2018 Tentang Pengampunan Pajak (UU TA), apabila DJP menemukan data dan/atau informasi mengenai harta wajib pajak yang diperoleh sejak 1 Januari 1985 sampai dengan 31 Desember 2015 yang belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan, maka akan dikenakan sanksi administrasi perpajakan berupa kenaikan sebesar 200% dari PPh yang tidak atau kurang dibayar atas tambahan harta tersebut. Fantastis ya sanksinya!
Belum lagi ditambah dengan PPh Final atas harta tambahan tersebut dengan tarif sesuai dengan PP-36 Tahun 2017. Yakin masih aman kalau ketahuan?
Itu untuk skema Kebijakan I. Untuk skema Kebijakan II, akan dikenakan sanksi administrasi bunga per bulan dan uplift factor 15% sesuai pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Itu hanya sanksi ya, untuk PPh atas harta tambahan dikenakan tarif sebesar 30%.
Semua sanksi-sanksi di atas akan sirna jika wajib pajak mengikuti program PPS ini dengan sejujur-jujurnya. Peserta PPS Kebijakan I tidak akan dikenakan sanksi fantastis pasal 18 ayat (3) UU TA. Cukup membayar tebusan dalam rentang 6%-11% saja. Jauh dari 200%? Peserta PPS Kebijakan II juga tidak akan diterbitkan surat ketetapan untuk kewajiban tahun pajak 2016-2020.
2. Perlindungan data
Ketar-ketir tidak kalau data mengenai harta kekayaan kita disalahgunakan? Tentu saja. Namun tenang, data dan informasi yang dimuat dalam SPPH dan lampirannya diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang terkait dalam pelaksanaan UU HPP, tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap wajib pajak.
Komitmen Harus Ditepati
Sampai di sini, mungkin Anda mulai yakin untuk ikut PPS karena alasan “beli payung dulu agar tidak kehujanan”. Namun, saat Anda “membeli payung”, pastikan Anda membayar payung tersebut dan merawatnya sebagai komitmen Anda yang ingin terlindung dari “hujan”.
Kalau sudah ikut sebagai peserta PPS, pastikan komitmen Anda sesuai dengan SPPH dijalankan dengan baik. Seperti yang kita tahu, ada tiga lapisan tarif di setiap skema kebijakan PPS, yaitu :
1. tarif atas harta deklarasi luar negeri;
2. tarif atas harta luar negeri repatriasi dan harta dalam negeri; dan
3. tarif atas harta luar negeri repatriasi dan aset dalam negeri yang diinvestasikan dalam Surat Berharga Negara (SBN) dan/atau kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam dan sektor energi terbarukan di dalam wilayah NKRI.
Dari kategori tarif di atas, tentu saja jika harta luar negeri direpatriasi apalagi diinvestasikan akan dikenakan tarif paling kecil. DJP memberikan batasan waktu sampai dengan 30 September 2022 untuk melakukan repatriasi dan 30 September 2023 untuk melakukan investasi dengan holding period selama lima tahun sejak diinvestasikan.
Bagaimana jika kita tidak menempati janji kita atau melakukan wanprestasi? Tentu saja akan ada sanksinya, sebagai berikut:
1. Jika gagal investasi dan hanya repatriasi luar negeri/deklarasi dalam negeri akan dikenakan tambahan PPh final 3% jika mengaku sukarela atau 4,5% jika diterbitkan Surat Ketetapan untuk peserta skema Kebijakan I dan II;
2. Jika gagal invetasi dan gagal repatriasi hanya deklarasi luar negeri akan dikenakan tambahan PPh final 6% jika mengaku sukarela atau 7,5% jika diterbitkan Surat Ketetapan untuk peserta skema Kebijakan I dan tambahan PPh final 6% jika mengaku sukarela atau 8,5% jika diterbitkan Surat Ketetapan untuk peserta skema Kebijakan II;
3. Jika gagal repatriasi dan hanya deklarasi luar negeri akan dikenakan tambahan PPh final 4% jika mengaku sukarela atau 5,5% jika diterbitkan Surat Ketetapan untuk peserta skema Kebijakan I dan tambahan PPh final 5% jika mengaku sukarela atau 6,5% jika diterbitkan Surat Ketetapan untuk peserta skema Kebijakan II.
Namun, sederet sanksi di atas jangan dijadikan beban agar tidak ikut PPS, tapi…pastikan semua dokumen bisa diurus dan komitmen bisa ditepati, lalu mantapkan hati untuk ikut PPS, si seksi dari UU HPP.
Sumber : pajak.go.id
Selasti Panjaitan/Vibizmedia