(Vibizmedia-Kolom) International Monetary Fund atau IMF, prediksi dampak pandemi Covid-19 akan membuat pertumbuhan ekonomi global tumbuh negatif pada tahun ini. Kurang dari 5 bulan, kehidupan masyarakat menjadi penuh ketidakpastian, ketakutan, serta kelumpuhan ekonomi.
Di lain pihak, isolasi atau pembatasan aktivitas di Tiongkok, juga mengganggu ketersediaan barang impor yang berasal dari negeri tirai bambu tersebut. Akibatnya, industri atau sektor yang bahan baku modalnya berasal dari Tiongkok terganggu proses produksinya.
Semua ini memberikan dampak kepada perekonomian Indonesia, media-media dan banyak analis menyatakan dampak yang negatif bagi Indonesia.
Dampak Positif Industri di Tanah Air
Roda ekonomi yang melambat, adalah dampak negatifnya. Banyak sektor terancam putus hubungan kerja (PHK). Kalau melihat data Kementerian Ketenagakerjaan, lebih dari 1,5 juta orang telah kehilangan pekerjaan imbas pandemi ini, 10,6 persen atau 160 ribu orang diantaranya, kehilangan pekerjaan karena PHK, sedangkan 89,4% lainnya dirumahkan.
Tetapi tidak semuanya negatif, dibalik itu semua, ada dampak positifnya bagi bangsa kita, yaitu dorongan untuk mandiri bagi industri dalam negeri, terutama badan usaha milik negara (BUMN) dan usaha kecil mikro, kecil dan menengah (UMKM) kita.
Mau tidak mau, memaksa kita belajar, dan kreatif mewujudkan ketahanan kesehatan nasional. Disini, diperlukan peran serta semua pihak untuk mewujudkannya. Mulai dari akademisi, periset, BUMN, BUMD, rumah sakit, swasta dan juga regulator, harus punya visi yang sama. Saatnya bersinergi, sedikit demi sedikit, kita bisa kurangi ketergantungan dengan impor.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, nilai impor bahan baku bidang medis tahun 2019 mencapai USD1 miliar atau sekitar Rp15 triliun. Alat elekronik medis mencapai USD358,8 juta, belum termasuk perangkat radiologi dan suku cadangnya sebesar USD268 juta.
Sedangkan, alat X-Ray menempati posisi ketiga sebesar USD87,2 juta, alat bedah, cetakan plastik dan perangkat higienis sebesar USD53,5 juta, alat scanning ultrasonic USD48,4 juta, alat kateter USD38,9 juta, sterilizer medis dan sejenisnya sebesar USD38,9 juta.
Anda mungkin pernah mendengar bahwa rumah sakit dan penyedia layanan kesehatan kekurangan ventilator. Bukan hanya itu, saat ini hampir semua negara, dikabarkan bersaing ketat untuk mendapatkan ventilator dan alat pelindung diri untuk medis.
Sementara, waktu terus berjalan, virus corona terus menyebabkan kerusakan pada paru-paru, kadar oksigen tubuh turun dan membuat sulit bernapas. Ventilator inilah membantu oksigen masuk lebih banyak ke paru-paru untuk mengeluarkan karbon dioksida, tetapi harga di pasaran melonjak tinggi, ventilator impor mencapai Rp500 juta sampai Rp700 juta per unitnya.
Penggunaan Produk Dalam Negeri
Kondisi ini tidak bisa dibiarkan, kebutuhan medis terus meningkat seiring bertambahnya jumlah kasus terinfeksi Covid-19. Akhir pekan lalu, sejalan dengan Peraturan Presiden, gerakan menggunakan produk dalam negeri ditengah pandemi Covid-19, mulai dari obat hingga alat kesehatan digaungkan Menteri BUMN Erick Thohir kepada seluruh rumah sakit BUMN di seluruh Indonesia.
Kita sudah tidak bisa lagi “business as usual”, juga sangat bergantung dengan impor, bisa dikatakan kita tidak percaya diri. Wabah corona mengajari kita dan membuat kita bercermin, bahwa kita bukan negara mandiri.
Terbukti, ada bantuan dari China berupa alat pelindung diri (APD), tapi yang menarik adalah ternyata made in Indonesia alias buatan Indonesia. Bahan dari kita tapi mereka yang produksi. Saatnya kita berani, mulai di bidang kesehatan, pengobatan dengan gaya kita sendiri, jadi industri baru.
Bulan lalu, dari keterbatasan, karena habis dimana-mana. Rumah Sakit RSUP Dr Sardjito, Yogyakarta mulai membuat APD sendiri. Sekarang mampu produksi 500 unit dalam seminggu, usaha kecil menengah (UKM) bidang konveksi banting setir, produksi APD berupa coverall.
Bukan hanya itu saja, produsen amunisi, bom, senjata, hingga kendaraan tempur, PT Pindad (Persero), mampu membuat alat bantu pernapasan pasien Covid-19 tipe Ventilator Resutitator Manual (Pindad VRM), ini murni hasil kreasi Pindad, sedangkan Covent-20, hasil kerja sama Pindad dengan Universitas Indonesia dan Universitas Gajah Mada.
Rencana BUMN dan PTN tersebut targetkan membuat ventilator 40 unit per hari. Selain itu, bersama-sama juga membuat Disinfectan Fog Cannon, Mobile Sterilization Chamber Covid-19. Sedangkan, PT Pindad Enjiniring Indonesia (PT PEI) anak usahanya, membuat cairan disinfektan, APD, Helm face shield dan kacamata.
Tidak mau ketinggalan, PT Dirgantara Indonesia (PTDI), yang biasa produksi pesawat terbang ini, bersama ITB produksi ventilator, bahkan sekarang mampu membuat 500 ventilator per minggu dengan harga Rp10 juta – Rp15 juta per unit.
Ini membuktikan masyarakat kita mampu produksi sendiri, sehingga terbentuklah “National Interest”. Sekarang tinggal bagaimana kita mengkontrolnya, kualitasnya bisa di pakai untuk medis. Dalam tiga bulan ke depan, perlu bangun kekuatan sumber daya melalui bantuan yang diberikan negara, masyarakat dapat disiapkan belajar pelatihan untuk mandiri dengan kekuatan lokal, sesuai bidangnya diberikan pelatihan, knowledge dan skill, baik itu petani, ekonomi kreatif, UKM dan lainnya, sesuai fokus peminatannya, disiapkan akses permodalan melalui perbankan, bantuan pemerintah daerah dan yang tidak kalah penting adalah adanya pendampingan, sehingga terciptalah masyarakat terampil, mandiri dan lebih produktif.