Jokowi Ajarkan Milenial tentang Politik yang Sehat

0
677

Sangat menarik bagaimana para millennial ibu kota menyelenggarakan perhelatan yang dihadiri 8000 orang di Istora Senayan Jakarta pada Minggu, 3 Maret. Rangkaian acara yang dikemas dalam Festival Satu Indonesia ini mengajak anak-anak muda agar terus optimis dalam memandang masa depan bangsanya, mulai dari bazar produk lokal, panggung seni, juga sebuah sesi “Inspiration Talks” yang sangat menarik bertajuk ”Jokowi Bicara”.

Membuka topik pidatonya malam ini, Jokowi mengisahkan perjalanan karirnya di dunia politik. Dalam balutan jaket hitam dengan tempelan aksesoris bergaya anak muda, Jokowi menyapa semua millennial yang hadir dengan sebutan kawan dan sahabat.

Ada sebuah hal yang sangat penting yang dijabarkan oleh Jokowi kepada para millennial bahwa dunia ini sedang berubah dengan sangat cepat, baik pada landscape politik, landscape ekonomi, juga landscape social. Padahal negara kita belum lagi siap untuk menghadapi perubahan-perubahan yang ada tetapi berbagai regulasi belum dimunculkan, sehingga terjadilah apa yang dinamakan disrupsi.

Teknologi baru muncul dengan sangat cepat, seperti Artificial Intelligence, Virtual Reality, juga munculnya bitcoin dan cryptocurrency di dunia keuangan, padahal regulasinya belum ada. Hal ini tidak hanya dialami oleh Indonesia, tetapi juga dialami oleh semua negara. Salah satu penyebab yang perubahan yang terjadi ini adalah ketika sebagian besar orang telah memiliki smartphone atau gawai pintar yang menginformasikan banyak hal. Namun demikian, Jokowi mengambil kesempatan ini menjadi sebuah peluang yang bermanfaat.

Belajar Berpolitik dari Pengalaman Hidup

Jokowi kemudian mengisahkan kembali jalan hidupnya. Bagaimana ia berasal dari keluarga yang sangat sederhana yang hidup di bantaran sungai. Ia pun pernah mengalami penggusuran tanpa mendapatkan ganti rugi, juga menyaksikan perjuangan orang tuanya untuk menyekolahkannya hingga kulaih.

Setelah itu Jokowi memasuki dunia kerja untuk kemudian melanjutkan ke dunia bisnis.

Menariknya, siapa sangka Jokowi kemudian mendapatkan kesempatan untuk masuk ke dunia politik pada tahun 2005. Ketika itu, Jokowi bukanlah orang yang terkenal di Solo tetapi ia mencalonkan diri untuk menjadi wali kota Solo bersaing dengan 3 pasangan kandidat lainya termasuk incumbent pada saat itu. Jika dibandingkan, maka ketiga pasangan yang menjadi pesaingnya jauh lebih dikenal dibanding dirinya. Namun itu tidak menjadi penghalang bagi Jokowi untuk memenangkan persaingan kala itu dengan sebuah peluang yang diciptakannya sendiri.

Kala itu, para politikus masih berkampanye dengan cara-cara yang lama, bagaimana mereka masih senang mengumpulkan masyarakat di stadiun besar untuk mendegarkan orasi, pidato, dan kemudian diakhiri dengan berkeliling kota dengan menggunakan sepeda motor besar.

Jokowi masih mengingat jelas peristiwa belasan tahun yang silam. Tetapi Jokowi memiliki pandangan yang berbeda. Ia memutuskan untuk melakukan door to door. Ia bergerak dari rumah ke rumah dari pagi hingga malam, dari pagi hingga tengah malam, bahkan hingga pagi lagi pada hari berikutnya. Hal inilah yang menghantarkan Jokowi memenangkan pilkada walaupun dengan keunggulan perolehan suara yang tipis (37%).

Jokowi pun semakin dikenal di kota Solo. Setelah lima tahun berlalu, banyak tokoh ingin mengusungnya kebali menjadi walikota untuk periode berikutnya. Sebenarnya Jokowi enggan untuk menerima, namun ia mendengarkan banyaknya keinginan masyarakat untuk mengusungnya kembali hingga akhirnya ia meraih suara 91% yang menghantarkannya kembali menjabat sebagai wali kota Solo.

Kala itu Jokowi juga enggan melakukan kampanye, enggan mengeluarkan uang oleh karena ia yakin bahwa masyarakat sudah melihat dan merasakan program-program yang telah ia kerjakan.

Setelah 2,5 tahun berlalu, Jokowi pun diusung untuk menjadi gubernur DKI Jakarta. Hal yang sama ketika ia berkompetisi menjadi wali kota Solo, kembali menjadi strateginya. Pada tahun 2012, Jokowi memasuki DKI Jakarta dan ia pun mencoba bergerak ke pasar-pasar, ke RT, RW, dan ia menemukan bahwa masyarakat tidak mengenal dia. Sering kali tidak ada yang menyapanya. Oleh karena itu, ia kembali bergerak dari pintu ke pintu, dari RT ke RT, juga RW ke RW untuk memperkenalkan dirinya. Kala itu, hal ini masih belum dilakukan oleh para politisi kebanyakan.

Setelah 2 hingga 3 bulan, menjalani ‘blusukan’ seperti ini, orang pun mulai mengenali Jokowi. Ia mulai disapa di pasar-pasar, di desa-desa hingga akhirnya Jokowi pun terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta dengan perolehan suara 43%. Tanpa kenal lelah Jokowi bekerja menyapa masyarakat yang ada dan tiada diduga, banyak orang yang kemudian mencalonkannya untuk menjadi Presiden RI yang ke-7.

Hal yang menarik yang diungkapkan Jokowi pada pidatonya bagaimana ada 3 hal yang biasanya membawa seseorang untuk dapat naik ke jenjang sebagai kepala negara atau perdana menteri di negara-negara lain:
1. Bilamana seseorang tersebut adalah seorang ketua partai.
2. Bilamana seseorang adalah seorang elit nasional.
3. Bilamana seseorang tersebut memiliki banyak uang.

Jokowi menyadari benar bahwa ia tidak berasal dari ketiga golongan di atas. Tetapi telah diputuskan bahwa ia harus mengikuti persaingan untuk menjadi kepala negara. Pada waktu itu Jokowi memiliki apa yang disebutnya sebagai feeling politik yang menyatakan bahwa ia akan menang. Sebagai dampak door to door yang dilakukannya terus menerus, maka Jokowi pun telah dikenal hingga ke Papua seiring terjadinya perubahan landscape politik.

Pada pidatonya, Jokowi pun mengingatkan bahwa waktu semakin singkat menuju Pilpres 2019, karena itu hendaknya para millennial menyadari bahwa masa depan negara yang kita cintai ini ada di tangan mereka.

Emy T/Journalist/ VM
Editor : Emy Trimahanani

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here