(Vibizmedia – Column) – Beberapa hari yang lalu, terdengar berita tentang Government Shutdown yang dilakukan partai Demokrat di Amerika Serikat. Hal itu terjadi beberapa hari, dan sempat menjadi hal yang mengkhawatirkan, karena hal itu bisa berdampak buruk pada anggota militer dan pegawai negeri sipil di Amerika Serikat, dimana mereka bisa kehilangan gajinya karena hal itu.
Saya terus mengikuti berita ini, termasuk dimana Mitch McConnell, selaku Senate Majority Leader memperjuangkan agar Government Shutdown bisa segera dihentikan. Dalam hal ini, Mitch McConnell memang berupaya menghentikan government shutdown dengan cara mengusahakan kemenangan lewat voting untuk menyetujui penandatanganan RUU pendanaan sementara yang disebut stopgap spending bill, untuk mendanai operasi pemerintah sampai 8 Februari, yang ditandatangani Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Ketika government shutdown berlangsung, ada beberapa cerita yang terdengar, seperti kekhawatiran Senator Jim Inhoffe tentang bagaimana hidup tentara yang bisa tak bergaji akibat shutdown, dan juga ada cerita tetang Congressman Scott Taylor, ex dari Navy Seal yang berhati mulia, yang menyatakan bahwa ia bersedia mendonasikan gajinya di Kongres untuk militer dan veteran selama shutdown berlangsung.
Namun, pada akhirnya semua bisa bernafas lega, karena setelah 69 jam, atau sekitar 3 hari, shutdown bisa dihentikan berkat hasil voting yang memuaskan, dimana stopgap spending bill akhirnya berhasil disetujui melalui voting yang dilakukan Senate dengan angka 81-18 untuk “mematahkan” filibuster Partai Demokrat. Dan, beberapa jam saat itu, Senate menyetujui akan RUU tersebut dengan angka voting 266-150.
Peristiwa tersebut memang sudah berlangsung beberapa hari, tetapi hal itu memang masih menarik bagi saya untuk dianalisa. Sebenarnya, kalau kita berpikir, peristiwa government shutdown yang dilakukan oleh Partai Demokrat, selama sekitar 69 jam adalah masalah like and dislike yang terjadi dalam pemerintahan di Amerika Serikat.
Mungkin bisa saja bagi sebagian orang, apa yang saya pikirkan adalah hal yang mengada-ada. Tetapi, jika Anda berbicara dengan orang kebanyakan di Amerika Serikat, biasanya perbedaan disana masih sangatlah tajam. Perbedaan soal partai politik, pendapat mereka soal rasisme, dan berbagai hal lainnya yang sangat tajam didengar telinga. Percaya atau tidak, sampai saat inipun, meskipun pemilihan Presiden Amerika Serikat sudah berlalu, orang masih “rajin” mencari tahu kita ada di pihak partai politik yang mana.
Sebenarnya, salah satu yang menjadi masalah dari government shutdown ini tak lain adalah persengketaan soal imigrasi yang dilakukan oleh Partai Republik maupun Demokrat di Amerika Serikat. Partai Demokrat, memang menuntut agar para imigran illegal penerima program Deffered Actions For Childhood Arrivals (DACA) yang berjumlah sekitar 800.000 orang dilindungi dari deportasi. Para penerima program DACA sendiri, adalah para imigran ilegal yang dibawa orangtuanya ke Amerika Serikat saat mereka masih kanak-kanak.
Di sisi lain, ada juga tuntutan Presiden Trump untuk permintaan persetujuan Kongres dalam rencana pembangunan tembok perbatasan Amerika dan Meksiko yang mencapai sekitar 3.200 kilometer serta pengetatan proses imigrasi untuk mencegah imigran illegal yang datang ke Amerika Serikat.
Dari sisi saya, sebenarnya hal yang terjadi adalah perbedaan pendapat yang bisa dibicarakan secara negosiasi. Tetapi, dengan adanya like and dislike yang ada antara kedua partai politik yang ada, bisa membuat masalah yang seharusnya bisa diselesaikan, menjadi terkesan lebih tajam dari seharusnya. Partai Demokrat di Amerika Serikat, seperti yang kita ketahui, memang hampir tak pernah menyetujui akan apa yang diputuskan ataupun direncanakan oleh Presiden Donald Trump.
Mengenai DACA, yang merupakan salah satu perdebatan di pemerintahan, bagi saya, hal itu sebenarnya bisa diselesaikan di meja negosiasi. Saya sendiri, sebenarnya tidak mendukung akan pendapat Partai Demokrat yang menuntut perlindungan dari 800.000 imigran illegal tersebut. Bukan karena saya tidak berperikemanusiaan, tetapi karena sebenarnya, orangtua dari para imigran, sejak awal harusnya bisa mengusahakan melalui cara-cara yang benar untuk mendapatkan legalitas di Amerika Serikat. Kalau saja, orangtua para imigran tersebut tidak membiarkan anak-anaknya hanya menerima program DACA, dan kalau saja, orangtua para imigran ilegal itu dulunya mengupayakan legalitas melalui jalur yang benar bagi dirinya dulu, maka sudah pasti ceritanya akan berbeda bagi anak-anak mereka saat ini.
Di Amerika Serikat, sebenarnya ada banyak jalur untuk mendapatkan legalitas, baik untuk mendapatkan permanent residence sampai kewarganegaraan, mulai dari visa F1 (visa studi), visa H-1B (visa kerja), visa EB1 sampai EB5 (untuk temporary workers), atau berbagai jalur lainnya yang benar dan jelas masa depannya. Namun, untuk mendapatkan semua visa yang legal, harus melalui proses yang panjang, bahkan harus menyelesaikan paperwork yang tidak sedikit. Bahkan, untuk calon permanent residence yang mendapatkan izin tinggal melalui visa asylum atau pengungsi, tentunya tetap ada proses yang harus dilakukannya.
Secara proses, memang harus orangtuanya terlebih dahulu yang mengusahakan visa yang legal bagi mereka sendiri, barulah anak-anaknya akan mendapatkan visa dan legalitas di Amerika Serikat. Intinya, memang butuh kerajinan dari para orangtua untuk bisa mengusahakan legalitas bagi dirinya dan anak-anaknya nanti. Jika anak-anaknya berusia dibawah 21 tahun, tentunya bisa mendapatkan secara otomatis. Tetapi jika anak-anaknya sudah diatas 21 tahun, tentunya mereka harus mengusahakannya sendiri. Untuk mendapatkan berbagai visa yang legal tersebut, memang dibutuhkan upaya yang cukup banyak, dan juga paperwork yang tak sedikit. Namun, itu semua tentunya lebih aman dibandingkan jika para orangtua hanya membiarkan anak-anaknya menerima program DACA yang tak jelas masa depannya.
Apabila dibandingkan dengan program DACA, tentu saja program DACA lebih mudah untuk didapatkan. Bisa jadi, dulunya para orangtua imigran sudah merasa puas dengan program DACA yang sudah didapatkan anak-anaknya. Namun, meskipun kelihatannya lebih mudah didapatkan, tetapi program DACA sangatlah tidak baik untuk jangka panjang, karena program tersebut tidak menyediakan jalur untuk mendapatkan permanent residence, apalagi menjadi warganegara Amerika Serikat. Program DACA hanya untuk bisa membuat anak-anak para imigran bisa bersekolah, boleh tinggal, dan boleh bekerja di Amerika Serikat. Tetapi, dengan segala kemudahannya, status mereka tetaplah sebagai warganegara ilegal di Amerika Serikat. Dengan kata lain, secara hukum tentunya boleh dipulangkan ke negara asalnya kapan saja.
Namun, jika dipikir, DACA sebenarnya bukanlah masalah yang harusnya diperdebatkan dengan luar biasa sampai menyebabkan government shutdown selama sekitar 69 jam. Tetapi, kasus itu hanyalah dijadikan “alasan” bagi Partai Demokrat untuk menunjukkan “protes” mereka atas pemerintahan Trump. Kalau dipikir juga, secara legalitas, memang para imigran penerima program DACA itu tetaplah ilegal, dan melanggar hukum, terlepas dari kesalahan yang mungkin dilakukan orangtuanya dahulu saat mereka tiba di Amerika Serikat. Secara hukum, para penerima program DACA memang bisa dideportasi karena statusnya yang masih ilegal di Amerika Serikat. Jadi, bagi saya pribadi, apa yang dilakukan Presiden Trump tidaklah salah. Memang, bisa kita lihat, cara Trump dalam menangani imigrasi selama ia memerintah, tentunya sudah memperlihatkan bahwa ia tidak sekedar mengucapkan janji saat kampanye, melainkan juga berusaha memenuhinya.
Like and dislike dalam partai politik suatu bangsa, memang cukup berpengaruh bagi kondisi pemerintahan suatu bangsa. Paling tidak, kasus yang pernah terjadi ini, cukup membuat kita mendapatkan pembelajaran, bahwa segala sesuatu, memang jika diputuskan berdasarkan like and dislike, tanpa kita sadari, bisa berpengaruh pada banyak pihak. Bahkan, tanpa kita sadari sekalipun, bisa menyebabkan kerugian, seperti contohnya dalam kasus government shutdown ini, salah satunya hanya karena imigran ilegal, maka para tentara dan veteran yang sebenarnya lebih berjasa bagi negara dibandingkan para imigran ilegal, beresiko kehilangan gaji mereka selama shutdown berlangsung.
Namun, bisa dilihat sendiri pada akhirnya, ketika segala sesuatu dibawa ke negosiasi, maka hal itu bisa berdampak baik, seperti ketika voting dilakukan, maka jalan penyelesaian akhirnya terbuka. Paling tidak, sampai beberapa waktu kedepan, semuanya mendapatkan solusi yang bisa berdampak positif, terutama bagi para militer dan veteran yang sudah berjasa bagi bangsa dan negara Amerika Serikat.
Zefanya Jodie, MBA/Editor In Chief Vibizmedia.com
Picture : Wikimedia Commons