Tahukah Anda, Benang Merah antara PPS, Energi Terbarukan dan Pajak Karbon?

0
10172
(Photo: Kemenkeu)

(Vibizmedia – Economy & Business) – Tahukah Anda bahwa pembangkit listrik berbahan bakar batu bara menghasilkan 30 kali lebih banyak polutan daripada pembangkit berbahan bakar fosil lainnya?

Dikutip dari laman Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), selain karbon dioksida, pembangkit ini juga mengeluarkan zat berbahaya lainnya seperti merkuri, selenium, boron, dan abu batu bara.

Sebagai upaya menekan dan mengurangi dampak emisi gas karbon dioksida, pemerintah mengulirkan kebijakan Pajak Karbon. Pajak jenis baru ini rencananya akan mulai diberlakukan pada 1 April 2022.

Pemberlakukan pajak karbon otomatis akan menekan produksi energi dari bahan baku yang menghasilkan gas karbon dioksida. Hal ini bisa mengakibatkan meningkatnya harga jual produknya.

Untuk mengimbangi penurunan produksi energi dari bahan baku fosil dan mencegah naiknya harga jual, maka mulai dikembangkan pengolahan sumber-sumber energi lain yang ramah lingkungan. Pada periode 2015–2020 implementasi energi ramah lingkungan masih terbatas, sekitar 11,5% dari total penggunaan sumber energi yang ada.

Masih dari laman Kementerian ESDM, potensi sumber energi terbarukan masih sangat besar. Sebagai gambaran potensi energi panas bumi lebih dari 400 Giga Watt (GW) dan implementasinya baru 176 Mega Watt (MW). Untuk tenaga angin dan air potensinya sebesar 150 GW, sedangkan implementasi hanya 2 GW.

Energi tenaga surya yang sangat berlimpah belum dikembangkan secara komersial sebagai pembangkit listrik. Implementasi energi ini masih terbatas pada penggunaan panel surya atap dan implementasinya hanya 11 MW.

Rendahnya implementasi potensi energi terbarukan berkaitan erat dengan tingginya nilai investasi pengembangan produk tersebut. Untuk mengembangkan energi yang berasal dari panas bumi dibutuhkan dana investasi sebesar US$4–5 juta per MW listrik.

Untuk mengembangkan energi dari tenaga air dibutuhkan biaya sebesar US$2,3–2,7 juta per MW, sedangkan untuk energi angin/bayu investasinya sekitar US$2,6 juta.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2021 belum menyediakan secara khusus dana untuk investasi pengembangan energi terbarukan. Kalaupun ada maka pengalokasiannya harus dilakukan dengan sangat hati-hati karena akan menekan alokasi penggunaan dana pada sektor lainnya.

Untuk mengembangkan energi terbarukan dan menjaga APBN sehat, maka pemerintah mengajak seluruh masyarakat yang memiliki kemampuan finansial untuk berinvestasi pada sektor ini.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) melalui Program Pengungkapan Sukarela (PPS), mewajibkan peserta program yang menginginkan tarif rendah, berinvestasi pada sektor energi terbarukan.

Pada kebijakan pertama, tarifnya hanya 6% jika harta yang diungkap diinvestasikan pada sektor energi terbarukan, namun jika tidak maka tarifnya 8% dan 11%. Sedangkan pada kebijakan kedua, tarifnya 12% jika diinvestasikan pada sektor tersebut dan jika tidak maka tarifnya 14% dan 18%.

Program PPS adalah program pemberian kesempatan kepada wajib pajak untuk mengungkapkan secara sukarela kewajiban perpajakan yang belum dipenuhinya dengan cara membayar PPh Final dengan tarif khusus. Program ini berlangsung hanya 6 bulan mulai 1 Januari 2022–30 Juni 2022.

Keberhasilan program PPS akan secara langsung meningkatkan jumlah dana yang akan diinvestasikan ke sektor energi terbarukan. Energi dari sumber inilah yang akan menggantikan produksi energi dari bahan bakar yang menghasilkan karbon, yang akan terus berkurang seiring diterapkannya Pajak Karbon.

Sumber: pajak.go.id

Selasti Panjaitan/Vibizmedia

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here